Selama ini, untuk mengevaluasi tingkat korupsi di Indonesia, pemerintah mengacu pada hasil Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang dilansir Transparency International. Sayangnya, kita sendiri tidak pernah tahu, siapa pihak yang melakukan survei, siapa saja respondennya dan apa saja topik yang ditanyakan dalam survei tersebut.

“Dari hasil IPK itu, juga tidak disebutkan bagian mana yang perlu kita perbaiki agar nilai IPK kita bisa meningkat,” kata Direktur Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Wawan Wardiana, pada Sosialisasi dan Pengarahan Teknis Pelaksanaan Survei Penilaian Integritas (SPI) 2019 pada Kamis (2/5) di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta. Dalam kesempatan itu, dihadiri oleh perwakilan inspektorat dan sekretariat daerah dari 103 kabupaten/kota.

Dengan berbagai kelemahan itu, KPK hendak membuat alat ukur tingkat integritas bagi pemerintah daerah dan instansi yang lebih ‘membumi’. Artinya, hasil rekomendasi survei dapat diimplementasikan sehingga perbaikan dari tahun ke tahun dapat dilihat dan dirasakan.

“Untuk apa SPI? Untuk memperbaiki diri. Karena kami selain menilai, juga menyampaikan rekomendasi yang perlu bapak-ibu lakukan,” katanya.

SPI itu, kata Wawan memberikan analogi, seperti memotret diri kita. Foto yang dihasilkan, akan dianalisis sesuai dengan indikator yang ada. Dari situlah kemudian, KPK akan memberikan masukan untuk perbaikan.

“Kalau hasil foto menunjukkan anda kurang rapi, kami sudah siapkan indikator, yang rapi itu seperti apa. Jadi, bapak-ibu bisa memperbaiki penampilan agar lebih rapi,” jelasnya.

Wawan menjelaskan, SPI yang dilakukan KPK menggunakan kombinasi pendekatan persepsi dan pegalaman langsung, maupun tidak langsung terhadap suatu institusi. Hasil data akan berbentuk indeks yang dikenal dengan indeks Integritas, yang dibentuk oleh empat komponen, yakni indeks penilaian internal, indeks penilaian eksternal, penilaian ahli dan faktor koreksi.

Indeks penilaian internal dilakukan kepada pegawai internal, yang meliputi budaya organisasi, sistem antikorupsi, pengelolaan SDM, dan pengelolaan anggaran. Sedangkan indeks penilaian eksternal, meliputi transparansi, sistem antikorupsi, dan integritas pegawai.

Sementara pada penilaian ahli, terdapat dua hal, yaitu transparansi dan sistem antikorupsi. Dan pada faktor koreksi, yang dinilai dari laporan pengaduan, laporan kepatuhan LHKPN, dan pengarahan.

“Pengarahan maksudnya, upaya mengarahkan responden untuk memberikan jawaban yang tidak sesuai dengan kenyataan,” kata Wawan.

Wawan memberi contoh bahwa Kementerian Keuangan telah menjadikan SPI sebagai perhatian utama indikator keberhasilan peningkatan integritas di lingkungannya. Beberapa bentuk keseriusan dari Kementerian Keuangan antara lain; Menteri Keuangan menginstruksikan adanya tindak lanjut masing-masing eselon 1 dari hasil SPI; Inspektorat Jenderal menetapkan inisiatif strategis 2019 adalah program penguatan Unit Kepatuhan Internal dalam memperkuat integritas, salah satu yang diambil referensi datanya adalah hasil SPI; serta SPI dijadikan referensi bagi pengembangan Fraud Risk Scenarios, Integrity Framework Kemenkeu, dan profiling pegawai berisiko tinggi.

(Humas)

Top