Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan (Rutan) adalah bagian yang tak terpisahkan dari sistem peradilan. Menurut Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, selain berfungsi sebagai tempat untuk melaksanakan penghukuman,

Lapas juga berfungsi sebagai tempat pembinaan narapidana. Berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana.

Buruknya tata kelola Lapas, terkuak setelah Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Juli 2018 yang menjaring Kepala Lembaga Pemasyarakatan (Kalapas) Sukamiskin Wahid Husein. Setelah kejadian itu, Menurut Ketua KPK Agus Rahardjo, pihaknya melakukan kajian mengenai Tata Kelola Sistem Pemasyarakatan guna memetakan area rawan korupsi dalam sistem tata kelola pemasyarakatan serta menyusun rekomendasi untuk meminimalisasi risiko korupsi.

Di sini, lanjut Agus, KPK melakukan observasi dan melakukan sesi wawancara mendalam di 33 Rutan dan Lapas di beberapa kota. Kajian ini menitikberatkan pada aspek tata kelola lembaga pemasyarakatan, regulasi, sumber daya manusia, serta teknologi informasi yang mempengaruhi layanan lembaga pemasyarakatan

Secara garis besar, terdapat lima temuan yang menjadi perhatian KPK. Pertama, KPK menemukan bahwa selama ini negara telah dirugikan Rp12,4 miliar perbulan karena masih menampung dan memberi makan narapidana yang sudah habis masa tahanannya.

“Ada unsur pelanggaran hak asasi manusia disitu. Harusnya mereka sudah bebas,” ujar Agus dalam kegiatan Diskusi Media “Menggagas Perbaikan Lapas”, pada Selasa (30/4) di Gedung Merah putih KPK, Jakarta.

Kedua, tidak ada mekanisme check and balance dalam pemberian remisi kepada narapidana. KPK menemukan bahwa pengajuan remisi justru menjadi celah pemerasan terhadap narapidana.

Ketiga, KPK juga menemukan bahwa koruptor yang dieksekusi ke Lapas umum mendapatkan perlakuan istimewa karena mereka bisa menyuap orang-orang di sekelilingnya.

Keempat, adanya risiko penyalahgunaan data karena lemahnya Sistem Database Pemasyarakatan (SDP). Terakhir, KPK menemukan bahwa adanya potensi korupsi pada penyediaan bahan makanan. Kajian ini menemukan bahwa selama ini hanya 50-70% tahanan dan narapidana yang mengonsumsi makanan di Lapas atau Rutan. Namun, pihak Lapas dan Rutan tetap melakukan pembayaran secara penuh. KPK menghitung, jumlah kerugian negara sekurang-kurangnya Rp520 Miliar.

Lewat kajian ini, KPK telah memberikan 18 rekomendasi perbaikan kepada Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Dirjen PAS) Kementerian Hukum dan HAM Sri Puguh Budi Utami yang juga hadir dalam diskusi tersebut.

“Kami sudah menerima hasil kajian dan kami sudah menetapkan rencana aksi untuk masing-masing rekomendasi,” ungkap Sri.

Selain membahas mengenai hasil kajian, diskusi ini juga membahas wacana penempatan narapidana kasus tindak pidana korupsi ke Lapas Nusakambangan. Agus Rahardjo mengatakan bahwa seharusnya koruptor dihukum di Lapas Nusa Kambangan.

“Itu akan lebih baik,” kata Agus.

Lapas Nusakambangan, lanjut Agus, memiliki pengamanan super ketat. Selain itu, ruangan isolasi di Lapas Super maximum security dapat menimbulkan efek jera sehingga koruptor tidak akan mengulangi perbuatannya lagi.

“Ternyata dengan terapi tidak berbicara dengan sesama manusia selama berbulan-bulan, itulah yang menjadi penderitaan. Itu yang bisa menyebabkan dia taubat,” katanya.

Agus mengatakan, wacana ini akan mulai diuji coba mulai tahun 2019. Pimpinan akan memberi rekomendasi agar koruptor kelas kakap dieksekusi ke Lapas di Nusakambangan.

Ditjen PAS sendiri, kata Sri Puguh Budi Utami, menyambut baik wacana itu. Sri menyampaikan bahwa saat ini masih ada satu bangunan Lapas dengan kapasitas yang mampu menampung 711 narapidana, yaitu Lapas Karanganyar yang masih belum digunakan. Menurutnya, Lapas super maximum security itu dapat menjadi Lapas khusus narapidana kasus tindak pidana korupsi.

“Kami belum menentukan karena sengaja di-hold, menunggu keputusan bersama setelah kedatangan Pak Agus ke Nusakambangan,” ujar Sri.

Sementara itu, pakar hukum pidana Universitas Indonesia Gandjar Laksmana Bonaprapta mendukung wacana penempatan narapidana kelas kakap di Nusakambangan. Menurutnya, konsep membatasi ruang gerak untuk memperbaiki diri para narapidana memang benar adanya.

“Konsep super maximum security itu seperti gelas. Ketika air di dalam gelasnya kotor, lalu di kosongkan kemudian diisi lagi dengan air putih,” kata Gandjar.

Maksudnya, ketika dia sudah merasa menyesal, koruptor itu akan bertekad tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Hal ini seperti menghapus pikiran-pikiran jahat yang ada di benak koruptor.

Karena itu, kata Agus, KPK berharap wacana ini bisa segera diwujudkan dan standar keamanan di Nusakambangan akan terus meningkat dan setiap pegawainya memiliki integritas yang baik agar tidak bisa disuap.

“Tentu, KPK akan terus mendampingi dan mengawasi rencana aksi dari setiap rekomendasi,” katanya.

(Humas)

Top