Temuan tim gabungan Satgas Pencegahan dan Penindakan Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) wilayah V Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam pendampingan lapangan di Raja Ampat, Papua Barat Daya, menunjukkan adanya indikasi kebocoran di sektor pelayanan publik. Akibatnya, ada potensi penurunan pendapatan asli daerah (PAD) yang semestinya bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Dalam Rapat Koordinasi (Rakor) dengan BLUD Kelautan Perikanan Raja Ampat Prov. Papua Barat Daya, UPTD Pariwisata Kab. Raja Ampat dan BKKPN Kupang Kem. KKP, pada Senin (8/7), Kepala Satgas Korsup Wilayah V KPK, Dian Patria, mengungkapkan temuan penting. Ada perbedaan data pembayaran retribusi wisatawan yang signifikan antara data Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Dinas Pariwisata (Dinpar) Kabupaten Raja Ampat dan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan (KKP) di Kepulauan Raja Ampat (dikelola Provinsi Papua Barat Daya). Data wisatawan yang tercatat di kabupaten justru lebih tinggi,

“Petugas provinsi itu lebih banyak dari petugas kabupaten. Ada 50 petugas provinsi yang tersebar di 8 pos wilayah kepulauan Raja Ampat. Sedangkan, petugas kabupaten hanya dua orang untuk melayani pembayaran tiket di Pelabuhan Falah, yang tidak jauh dari lokasi kedatangan kapal. Tapi, justru kabupaten bisa mendapat data lebih tinggi. Ada kebocoran di sini,” ungkap Dian. Jika dibiarkan, hal ini akan menimbulkan kebocoran PAD yang lebih besar dan merugikan keuangan daerah.

Data UPTD Kabupaten, dalam periode Januari-April 2024, menunjukkan terdapat 24.227 wisatawan asing dan domestik yang berkunjung ke wilayah tersebut. Namun, di periode yang sama, data BLUD KKP Provinsi mencatat angka yang jauh lebih kecil, hanya 13.524 wisatawan. Hal ini menunjukkan adanya deviasi kunjungan wisatawan hingga 7.307 orang.

Jika dihitung berdasarkan tarif retribusi sebesar Rp1.000.000 per orang, dengan pembagian Rp300.000 dibayarkan di UPTD Dinpar Kab. Raja Ampat dan Rp700.000 dibayarkan di BLUD KKP Kepulauan Raja Ampat, potensi pendapatan yang hilang akibat kebocoran ini mencapai Rp5,12 miliar dalam rentang waktu empat bulan saja di 2024. Angka ini tentu sangat signifikan dan menjadi bukti nyata bahwa masih terdapat celah dalam sistem pengelolaan retribusi di sektor pelayanan publik di Raja Ampat.

Atas temuan ini, tim Korsup Wilayah V pun mendorong perbaikan tata kelola pariwisata di Raja Ampat untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan kesejahteraan masyarakat sekitar. Hal ini sesuai dengan tugas dan fungsinya, berdasarkan ketentuan pasal 6 huruf b dan d Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

“Kemarin kami bertemu turis yang liburan mandiri ke sini, mereka tidak tahu kalau harus membayar dua kali. Di bagian ticketing juga tidak ada tempelan pemberitahuan harus bayar berapa dan berlaku berapa lama. Sehingga transparansi ini harus terus kita dorong, agar para wisatawan mau kembali ke Raja Ampat,” tegas Dian.

Sinergi Antar Instansi di Pemda Belum Optimal

Di kesempatan yang sama, Marvelous dari tim Korsup Penindakan KPK menegaskan tata kelola di sektor pelayan publik ini belum berjalan baik karena selama ini pemerintah daerah terkesan masih berjalan sendiri-sendiri dan belum berkolaborasi satu sama lain.

“Saya belum melihat sinergitasnya. Kalau KPK tidak datang ke sini, tidak akan terjadi koordinasi. Inilah koordinasi. Harusnya ada atau tanpa adanya kami, koordinasi tetap harus jalan. Semuanya kan dilakukan demi kepentingan masyarakat,” jelas Marvelous.

Bupati Raja Ampat Abdul Faris Umlati sepakat. Dalam urusan tata kelola, seharusnya seluruh instansi terkait bisa bersinergi demi mencapai tujuan bersama, yakni peningkatan PAD yang ditujukan bagi kesejahteraan dan kepentingan masyarakat.

“Jangan nanti kalau baiknya, masuk sini dengan segala program, dapat anggaran. Namun, saat ada masalah, kami lagi yang bertanggung jawab. Untuk provinsi kan Rp700.000 sedangkan kabupaten hanya Rp300.000. Tidak sebanding dengan beban yang diberikan,” tutur Abdul Faris. Pasalnya, sejauh ini tim UPTD kabupaten yang bertugas mengawasi kawasan konservasi hanya 2 orang saja.

Data KKP Raja Ampat sendiri menunjukkan, wilayah Raja Ampat terdiri dari 4.6 juta hektar lautan dengan 1.411 pulau kecil, pulau karang atau atol, dan beting, yang mengelilingi empat pulau utama, yaitu Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool. Dengan kelimpahan spesies laut yang fenomenal– termasuk megafauna seperti hiu paus, pari manta, dan penyu– perairan di Raja Ampat, diakui sebagai pusat keanekaragaman hayati laut dunia.

“Raja Ampat juga terkenal dengan keindahan terumbu karangnya. Jangan sampai, terumbu karang yang membutuhkan waktu 15 tahun untuk tumbuh setiap satu sentimeternya, dirusak oleh oknum tidak bertanggung jawab. Sehingga kawasan ini harus benar-benar dijaga dan dilestarikan,” tegasnya.

Hadir dalam pertemuan ini, Bupati Raja Ampat Abdul Faris Umlati, Kepala Dinas Pertanian, Pangan, Kelautan, dan Perikanan (P2KP) Papua Barat Daya Absalom Solossa, Kepala BLUD Pengelolaan KKP Kepulauan Raja Ampat Safri, Plt. Inspektur Papua Barat Daya Nikolas Asmuruf, Kepala BKKPN Kupang Imam Fauzi, perwakilan Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Kabupaten Raja Ampat, perwakilan Bapenda Provinsi dan Kepala KPP Pratama Sorong, Martiana Dharmawani Sipahutar. (*

Top