Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menggelar agenda diskusi bersama dengan United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC). Kegiatan ini dilakukan sebagai tindak lanjut implementasi atas komitmen pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia terhadap perangkat rekomendasi United Nations Convention against Corruption (UNCAC), pada Senin (13/11).

Dalam sambutannya, Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron mengatakan, Konvensi PBB melawan korupsi telah mencerminkan sifat transnasional terhadap korupsi dengan menyediakan dasar hukum internasional yang memungkinkan kerja sama internasional. Dengan meratifikasi UNCAC ini, Indonesia dapat semakin terbuka dalam menjalin bekerja sama dengan negara lain untuk memerangi korupsi.

“Sebab, sejak 20 tahun mengadopsi Konvensi Antikorupsi PBB ini, telah memberikan kontribusi pada reformasi dan pengembangan kebijakan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Terlebih setelah 10 tahun siklus pertama selesai, momentum diskusi ini KPK rasa tepat untuk meninjau perkembangan implementasi UNCAC,” kata Ghufron di ballroom Hotel Le Meridien, Jakarta.

Sejak disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003, lanjut Ghufron. Tindak pidana korupsi merupakan ancaman terhadap prinsip-prinsip demokrasi, yang menjunjung tinggi transparansi, akuntabilitas, dan integritas, serta keamanan dan stabilitas bangsa Indonesia.

Untuk itu, korupsi menjadi tindak pidana yang bersifat sistematik dan merugikan pembangunan berkelanjutan. Sehingga, kata Ghufron, hal ini memerlukan langkah-Iangkah pencegahan dan pemberantasan yang bersifat menyeluruh, sistematis, dan berkesinambungan baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional.

“Sejak tahun 1957, pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dilaksanakan berdasarkan peraturan perundangundangan khusus, hingga mengalami perubahan sebanyak 5 (lima) kali. Akan tetapi, perubahan itu tidak membuahkan hasil atau belum memadai, sebab belum adanya kerja sama internasional dalam masalah pengembalian hasil tindak pidana korupsi,” ungkap Ghufron.

Selain itu, tambah Ghufron, beserta peninjauan UNCAC secara rutin menjadikan Konvensi Antikorupsi PBB terus bersinergi bersama KPK dalam pencegahan korupsi, melalui langkah-langkah pengembangan dan penerapan kebijakan antikorupsi dan memberikan rekomendasi lanjutan atas kebijakan pencegahan dan pemberantasan korupsi yang sudah dilakukan.

Senada dengan KPK, Regional Anti-Corruption Adviser, UNODC Regional Office for South East Asia and the Pacific, Francesco Checchi menyampaikan, UNCAC telah mengubah paradigma dunia dalam memandang kejahatan korupsi. Sebelum UNCAC berdiri, korupsi masih dianggap sebagai kejahatan domestik sehingga penanganan terhadap kejahatan korupsipun menggunakan cara-cara di level domestik.

“Korupsi merupakan keserakahan di atas kebutuhan masyarakat luas yang mengakibat kerugian semua. Memerangi korupsi sangat penting untuk melindungi hak asasi manusia dan menegakkan akuntabilitas demokratis sebagai langkah penting menuju pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan,” kata Francesco Checchi.

Pada kesempatan selanjutnya, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Mahfud MD menegaskan bahwa masih terdapat tantangan dalam penegakan hukum terhadap korupsi. Dia menyampaikan urgensi pengesahan RUU Perampasan Aset sebagai bagian yang relevan dengan semangat UNCAC untuk pemulihan aset hasil kejahatan, khususnya korupsi, yang telah diserahkan pemerintah kepada DPR.

Meskipun telah diratifikasi sejak tahun 2006, implementasi terhadap perangkat rekomendasi UNCAC masih menghadapi berbagai tantangan. Seperti strategi nasional pencegahan korupsi (Stranas PK) sebagai bagian dari implementasi UNCAC, dinilai belum cukup untuk mengatasi korupsi di Indonesia.

 

Kriminalisasi dan Penegakan Hukum

Bab III pada UNCAC mengakui pentingnya memiliki sarana untuk mencegah dan menghukum korupsi. Konvensi ini mengharuskan negara-negara untuk menetapkan tindak pidana dan kejahatan lainnya agar mencakup tindakan korupsi jika hal ini belum menjadi kejahatan berdasarkan hukum domestik mereka.

Termasuk di dalamnya ketentuan wajib dan rekomendasi untuk dipertimbangkan oleh negara-negara pihak. Bab III juga berfokus pada sektor publik dan swasta. Penting bagi negara untuk memberlakukan undang-undang yang mengkriminalisasi bentuk aktif penyuapan pejabat publik nasional dan asing dan pejabat organisasi internasional publik.

Bentuk aktif didefinisikan sebagai janji, penawaran, atau pemberian keuntungan yang tidak semestinya (sesuatu yang berwujud atau tidak berwujud, uang, atau non-uang), baik secara langsung maupun tidak langsung kepada para pejabat ini.

Tujuan dari keuntungan yang tidak semestinya adalah untuk memastikan bahwa pejabat publik bertindak, atau menahan diri dari bertindak, dalam melaksanakan tugas resminya. Pasal   15 dan 16 UNCAC juga mencakup bentuk pasif penyuapan, yang merupakan ajakan atau penerimaan keuntungan yang tidak semestinya oleh pejabat publik.

Top