Hakordia 2024: Momentum Pembaruan UU Tipikor untuk Hadapi Tantangan Global
Dalam rangkaian peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar seminar hukum nasional bertajuk “Pembaruan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor)”. Acara yang berlangsung di Gedung ACLC KPK, Jakarta, (10/12) ini menyoroti kebutuhan mendesak untuk memperbarui UU Tipikor guna menghadapi kompleksitas modus korupsi serta tantangan global.
Ketua KPK, Nawawi Pomolango, dalam sambutannya menegaskan pentingnya pembahasan pembaruan UU Tipikor agar pemberantasan korupsi lebih efektif, dan menyempurnakan sistem hukum nasional yang telah berlaku. Ia menyoroti sejumlah kerancuan pada pasal yang tercantum dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo 20 Tahun 2001 tersebut.
"Di momen Hakordia ini, kita bersama mendiskusikan implementasi dari UU Tipikor yang sudah ada. Misalnya, ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor yang masih belum menemui satu kesepakatan. Pasal-pasal ini perlu dikaji lebih mendalam, sebagai bahan untuk merevisi UU ke depannya,” ungkap Nawawi.
Lebih lanjut, Nawawi menyampaikan bahwa urgensi pembaruan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) juga mencerminkan komitmen Indonesia untuk mematuhi standar internasional yang berlaku. Langkah ini penting agar Indonesia dapat beradaptasi dengan dinamika hukum global dan memenuhi kewajiban sebagai negara yang telah meratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
“Sejumlah delik belum terakomodasi dalam UU Tipikor. Pertama, trading in influence, yang sering kali melibatkan penyalahgunaan pengaruh pejabat dalam transaksi bisnis. Kedua, illicit enrichment atau pertambahan kekayaan yang tidak wajar, di mana mekanisme Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang dimiliki KPK belum dapat dijadikan dasar dakwaan dalam kasus korupsi. Delik penyuapan di sektor swasta dan penyuapan kepada pejabat publik asing juga belum terakomodasi,” papar Nawawi.
Urgensi Harmonisasi UU Tipikor dan UNCAC
Dalam kesempatan yang sama, turut hadir Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Republik Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, sebagai salah satu narasumber. Yusril menegaskan, pembaruan UU Tipikor merupakan salah satu langkah prioritas dalam rangka memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, sebagai bagian dari mandat Asta Cita ke-7.
"Dalam reformasi awal, kita pernah mencatat pembaruan regulasi Tipikor yang sangat cepat. Namun, hingga kini, harapan akan bebasnya Indonesia dari korupsi masih jauh dari target. Ini menjadi catatan penting untuk melakukan penyegaran pada peraturan perundang-undangan sekaligus memperkuat komitmen aparat penegak hukum agar pemberantasan korupsi dapat diwujudkan secara optimal," ujar Yusril.
Ia juga menekankan pentingnya harmonisasi hukum nasional dengan kerangka kerja internasional, khususnya sesuai implementasi UNCAC yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU RI Nomor 7 Tahun 2006. “Dengan disahkannya UNCAC, kita memiliki kewajiban untuk mengadopsi ketentuan-ketentuannya ke dalam hukum nasional. Pengaturannya harus selaras dengan standar internasional untuk memfasilitasi kerjasama lintas negara yang lebih efektif,” tambahnya.
Guru Besar Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso juga turut hadir sebagai narasumber. Dalam paparannya, Topo menyampaikan bahwa UU Tipikor yang berlaku belum sepenuhnya sejalan dengan UNCAC, di mana terdapat beberapa delik yang belum diadopsi, seperti penyuapan pejabat publik asing, penyuapan sektor swasta, dan penggelapan kekayaan di sektor swasta. Hal ini berdampak pada efektivitas pemberantasan korupsi.
“Meskipun Indonesia telah meratifikasi UNCAC menjadi hukum nasional, beberapa ketentuan UNCAC, terutama yang bersifat pidana, memerlukan pengaturan spesifik untuk dapat diterapkan. Ketentuan-ketentuan tersebut, seperti yang diatur dalam Bab III UNCAC tentang kriminalisasi, tidak bersifat langsung berlaku (non-self-executing) dan membutuhkan pengaturan dalam undang-undang nasional,” jelas Topo.
Karenanya, Topo menilai penting bagi Indonesia untuk segera mengadopsi ketentuan-ketentuan UNCAC yang belum terakomodasi dalam perundang-undangan nasional. Dengan langkah ini, Indonesia diharapkan dapat memperkuat sistem hukum dan upaya pemberantasan korupsi, sekaligus menunjukkan komitmen nyata dalam menjalankan kewajibannya sebagai bagian dari komunitas global yang memerangi korupsi.
Pembaruan UU Tipikor dalam Aksesi OECD
Indonesia, sebagai negara yang bercita-cita menjadi negara maju pada tahun 2045, terus berbenah diri untuk keluar dari jebakan pendapatan menengah (middle-income trap). Dalam upaya mencapai target pendapatan tinggi dalam 21 tahun ke depan, akselerasi pertumbuhan ekonomi hingga 8% menjadi salah satu prioritas utama.
Pemerintahan baru, yang saat ini telah berjalan selama dua bulan, telah menekankan pentingnya meningkatkan angka investasi sebagai pendorong utama pertumbuhan ekonomi. Indonesia melihat Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) sebagai mitra strategis dalam meningkatkan daya tarik investasi, memperkuat profil global, membuka jejaring kerja sama internasional, serta berpartisipasi dalam pembentukan standar global.
“Standar dan rekomendasi kebijakan OECD juga mendukung upaya Indonesia dalam reformasi tata kelola pemerintahan untuk menciptakan iklim investasi yang lebih baik. Selain itu, standar ini juga mendorong pengendalian korupsi sebagai wujud komitmen terhadap UNCAC yang diratifikasi Indonesia,” kata Wakil Menteri Investasi dan Hilirisasi, Todotua Pasaribu, yang turut hadir sebagai narasumber.
Dalam mendukung tata kelola pemerintahan yang bersih, OECD memberikan empat rekomendasi utama pada isu yang relevan dengan pengendalian korupsi dan antipenyuapan, antara lain: Bribery and Officially Supported Export Credits; Further Combating Bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions; Development Co-operation Actors on Managing the Risk of Corruption; Tax Measures for Further Combating bribery of Foreign Public Officials in International Business Transactions.
Dengan mengadopsi instrumen-instrumen hukum ini, Indonesia diyakini tidak hanya memperkuat integritas pemerintahannya, tetapi juga dapat meningkatkan daya saing global sebagai destinasi investasi yang terpercaya. Reformasi ini juga menunjukkan komitmen Indonesia untuk menjadi bagian aktif dalam komunitas internasional yang mendukung demokrasi, ekonomi global, dan pemberantasan korupsi.