Tutup Celah Korupsi Hibah, KPK Perkuat Pengawasan di Jatim

Menutup celah korupsi tak cukup dilakukan hanya di hulu. Perbaikan menyeluruh dari hulu hingga hilir perlu digalakkan agar perilaku lancung tak lagi mengakar. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), melalui Direktorat Koordinasi dan Supervisi (Korsup) Wilayah III, terus memperkuat pengawasan dan tata kelola pemerintahan daerah. Kali ini, penguatan dilakukan di Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Timur sebagai langkah pencegahan terhadap potensi penyimpangan, salah satunya dalam pengelolaan dana hibah yang kerap menyisakan celah rawan korupsi.
Direktur Korsup Wilayah III KPK, Ely Kusumastuti, menjelaskan bahwa langkah ini dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor. Salah satunya adalah kasus korupsi dalam belanja hibah Pemprov Jatim pada 2019–2022 yang kini masih dalam proses hukum dan melibatkan sejumlah tokoh publik. Selain itu, alokasi anggaran hibah untuk tahun 2023 hingga 2025 serta jumlah penerimanya dinilai perlu diawasi ketat, demi menjamin akuntabilitas dan ketepatan sasaran.
Di sisi lain, regulasi yang mengatur penyaluran hibah dan bantuan sosial dinilai masih perlu disempurnakan, terutama dalam penetapan kriteria penerima. Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam Laporan Hasil Pemeriksaan Tahun Anggaran 2024 pun memperkuat bahwa pengelolaan belanja hibah Pemprov Jatim belum sepenuhnya memadai dan perlu dibenahi secara sistemik.
“Kami tidak mencari kesalahan masa lalu. Tapi, karena kita sudah melihat banyak titik rawan, mari bersama-sama, antara KPK dan Pemprov Jatim, berkolaborasi agar tidak ada temuan dan korupsi pada tata kelola dana hibah yang masuk dalam postur anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD),” ucap Ely, dalam Rapat Koordinasi di Gedung Merah Putih KPK, Selasa (6/5).
Ely menekankan pentingnya pelaksanaan setiap tahapan pemberian hibah secara akuntabel dan berpihak pada kepentingan publik. Hibah, menurutnya, seharusnya mendukung pencapaian target program pemerintah provinsi yang selaras dengan kebutuhan daerah.
KPK mencatat bahwa dari hulu ke hilir, proses hibah masih menyisakan ruang manipulasi—baik dalam tahap perencanaan, seleksi proposal, hingga pelaporan. Secara kasat mata, alur belanja hibah Pemprov Jatim tampak berjalan baik. Namun, menurut Ely, jika ditelaah lebih dalam, masih banyak celah laten yang rentan disusupi perilaku koruptif.
“Misalnya, di beberapa daerah terdapat temuan dalam proses pelaksanaan dan penatausahaan itu rawan markup. Pertanggungjawabannya juga masih rentan. Sehingga harus betul-betul dipastikan pengawasannya agar akuntabel dan sejalan dengan peraturan yang muaranya untuk kesejahteraan masyarakat,” imbuh Ely.
Ia menambahkan bahwa penguatan sistem ini bukan sebatas formalitas, melainkan bentuk tanggung jawab kelembagaan untuk memastikan bahwa setiap rupiah dari APBD memberi manfaat nyata bagi masyarakat. “Uang segitu gedenya adalah uang rakyat. Kita optimalkan sebaik-baiknya untuk kepentingan rakyat,” tegas Ely.
Apresiasi untuk Langkah Perbaikan
Penyaluran hibah dari APBD harus merujuk pada regulasi yang berlaku, antara lain PP Nomor 12 Tahun 2019, Permendagri Nomor 77 Tahun 2020, serta Pergub Jatim Nomor 44 Tahun 2021 dan Pergub Nomor 7 Tahun 2024. Seluruh aturan ini menegaskan bahwa belanja hibah harus dilakukan secara tertib, efisien, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Hibah juga bersifat tidak wajib, tidak mengikat, serta tidak boleh diberikan secara terus-menerus dalam tiap tahun anggaran.
Kepala Satgas Koordinasi dan Supervisi Wilayah III KPK, Wahyudi, mengapresiasi upaya Pemprov Jatim yang berhasil menekan anggaran hibah secara signifikan dalam dua tahun terakhir. Menurutnya, hal ini menunjukkan komitmen kuat pemerintah daerah dalam menyalurkan hibah yang benar-benar mendukung prioritas pembangunan.
Berdasarkan data APBD Pemprov Jatim, tercatat adanya tren penurunan anggaran hibah. Pada tahun anggaran 2024, pagu belanja hibah mencapai Rp4,51 triliun, sementara di 2025 turun menjadi Rp3,12 triliun. Adapun alokasi tahun 2024 mencakup hibah untuk organisasi kemasyarakatan sebesar Rp1,69 triliun, hibah ke pemerintah pusat sebesar Rp164 miliar, serta hibah untuk partai politik sebesar Rp110 miliar.
“Kami menilai Pemprov Jatim telah berupaya menyelaraskan penyaluran hibah dengan program-program yang telah direncanakan. Ini merupakan praktik baik yang layak dicontoh,” tegas Wahyudi.
Keseriusan Pemprov Jatim dalam Perbaikan Tata Kelola
Sekretaris Daerah Provinsi Jawa Timur, Adhy Karyono, menegaskan komitmen daerahnya dalam memperbaiki tata kelola hibah. “Isu hibah ini sempat jadi trauma, karena kasus sebelumnya. Tapi kami berkomitmen untuk transparan. Kehadiran KPK justru membuat kami senang, karena kami tidak sendiri dalam membenahi tata kelola,” ungkap Adhy.
Ia menjelaskan, sejumlah langkah perbaikan telah dilakukan, seperti mengurangi jumlah alokasi hibah, memperketat seleksi kelompok masyarakat penerima, serta memastikan hibah pokok pikiran (pokir) mempertimbangkan aspirasi daerah pemilihan. Selain itu, Pemprov juga memperbarui regulasi agar sesuai dengan tahapan dalam Sistem Informasi Pemerintah Daerah (SIPD), memanfaatkan aplikasi SIPD untuk pengusulan, melakukan verifikasi lapangan sebelum pencairan, serta aktif dalam penyampaian laporan pertanggungjawaban.
Adhy juga memperkenalkan aplikasi Aspirasi Hibah Jawa Timur atau Abah Jatim, sebagai sistem pengelolaan usulan hibah berbasis aspirasi masyarakat. Masyarakat dapat mendaftarkan akun dan menyampaikan aspirasi langsung melalui aplikasi tersebut.
Menanggapi hal ini, Wahyudi menekankan pentingnya transparansi dalam sistem informasi keuangan daerah. “SIPD harus diperkuat, karena sekarang ada jasa input pokir. Risiko pertanggungjawabannya tinggi. Abah Jatim, aplikasi aspirasi masyarakat, bisa jadi solusi jika dapat diintegrasikan dengan SIPD untuk meminimalisir duplikasi penganggaran,” tutupnya.
Rapat koordinasi ini turut dihadiri jajaran Pemprov Jawa Timur, termasuk para kepala dinas, badan, biro, inspektur, serta sekretaris dewan yang terlibat langsung dalam pengelolaan dan pengawasan dana hibah.
Kilas Lainnya

