Perkuat Integritas Jasa Layanan Asuransi, KPK Ajak Jasa Raharja Bersikap Antikorupsi
Praktik korupsi masih rentan terjadi dalam berbagai bentuk di lingkungan sektor pelayanan publik, baik di tingkat pusat maupun daerah. Hal ini disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, saat mengisi kegiatan HAKORDIA 2024 bersama Jasa Raharja, yang digelar di Ballroom Jasa Raharja, Jakarta, Rabu (11/12).
Tanak menjelaskan, tindak pidana korupsi dikategorikan ke dalam 7 kelompok besar yakni: Kerugian keuangan negara, Penggelapan dalam jabatan, Perbuatan curang, Pemerasan, Gratifikasi, Benturan kepentingan dalam pengadaan, dan Suap-menyuap.
“Contohnya ketika penyelenggara negara menerima gratifikasi, suap atau melakukan pemerasan, termasuk badan usaha negara yang menyelenggarakan urusan negara. Ketika bapak-ibu menerima gratifikasi atau menerima suap pada saat menangani seseorang yang hendak menerima asuransi, itu hukumannya akan sangat berat,” tegas Tanak.
Ia menambahkan, terdapat beberapa modus korupsi pada sektor jasa asuransi, yakni; Penunjukkan rekanan atau reasuransi tertentu, Penyalahgunaan aset perusahaan, Klaim Asuransi Fiktif, Manipulasi Klaim kepada Nasabah, Penggelapan premi oleh agen atau broker asuransi, Manipulasi laporan keuangan untuk menghindari pajak, Komisi atau hadiah yang bersifat illegal, Fee atas Klaim asuransi.
Maka dari itu, lanjut Tanak, KPK melakukan pemberantasan korupsi melalui tiga cara yaitu pencegahan, pendidikan, dan penindakan. “Saya mengkualifikasikan pendidikan ini ke dalam 3 bagian, pertama jangan pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Kemudian subyeknya itu para penyelenggara negara, para mahasiswa, sekolah lanjutan tingkat atas, sampai dengan TK dan PAUD,” terangnya.
Berdasarkan data penanganan perkara KPK sampai dengan Triwulan III 2024, terdapat 177 tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh BUMN/BUMD.
Sementara itu, Direktur Utama Jasa Raharja Rivan A. Purwantono menyampaikan, Jasa Raharja bersinggungan dengan masyarakat terutama terkait dengan pelayanan pembayaran santunan. Hal tersebut tentunya bersinggungan dengan integritas. “Tentunya ini sangat berpotensi terjadinya kesalahan yang bisa melupakan integritas mereka, ini tidak bisa dihindari ketika teman-teman di sini menjalankan tugasnya,” kata Rivan.
Kendati demikian, tambah Rivan, Jasa Raharja terus berupaya bertransformasi untuk menutup celah yang bisa menimbulkan terjadinya potensi korupsi, saat para pegawai bertugas melayani masyarakat.
“Saya dan seluruh BOD juga menanamkan ini, jangankan miring satu mili, miring pun nggak boleh, karena kalau korupsi kan begitu, ketika melihat atasannya terbiasa melakukan korupsi, yang lain akan merasa bisa melakukan juga,” pungkasnya.
Anggota DPD RI 2024-2029, Alfiansyah Komeng, yang turut hadir sebagai narasumber, menekankan agar perbuatan korupsi tidak disebut sebagai budaya Indonesia, karena korupsi merupakan perbuatan yang tidak baik.
“Banyak yang bilang korupsi sudah menjadi budaya di Indonesia, padahal budaya terdiri dari dua kata yaitu budi dan daya yang artinya usaha yang baik, saya rasa kurang pantas kalau korupsi disebut budaya. Saya nggak mau budaya dibawa ke tempat yang buruk,” ungkap Komeng.