KPK Gandeng UB Evaluasi Indikator Keberhasilan Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Dalam rangka memperingati Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2024, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bekerja sama dengan Universitas Brawijaya (UB) menggelar kegiatan Diskusi Publik bertajuk ‘Menggagas Kembali Indikator Keberhasilan Pemberantasan Korupsi di Indonesia.’ Acara pun telah berlangsung di Gedung Auditorium Universitas Brawijaya, Kota Malang, Jawa Timur, pada Kamis (21/11).
Sekretaris Jenderal KPK, Cahya Hardianto Harefa dalam sambutannya menyampaikan pentingnya mengevaluasi indikator keberhasilan pemberantasan korupsi yang selama ini telah dilakukan. Ia pun menerangkan kerja sama antara KPK dan perguruan tinggi sangat penting, karena Universitas tidak hanya menjadi pusat edukasi, tetapi juga berperan dalam membangun budaya integritas sejak dini, sehingga ini yang mendasari KPK menggandeng UB dalam evaluasi pemberantasan korupsi di Indonesia.
“Saat ini, kita menggunakan beberapa indikator utama, seperti Indeks Persepsi Korupsi (IPK) yang stagnan di angka 34, Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPI) dengan skor 70,97, dan Indeks Perilaku Antikorupsi (IPAK) yang tercatat 3,85 pada tahun 2024. Namun, hasil ini belum memuaskan. Kita perlu mengkaji apakah indikator ini sudah cukup relevan atau memerlukan perbaikan,” jelas Cahya.
Cahya berharap, kegiatan ini dapat memberikan rekomendasi untuk memperkuat kerja KPK dan menciptakan sistem yang membuat korupsi semakin sulit terjadi. Dengan integritas yang dibangun dari lingkungan kampus, menurutnya dapat menciptakan masyarakat yang lebih menjunjung tinggi nilai antikorupsi.
Dalam kegiatan diskusi publik ini dihadiri oleh mahasiswa dan civitas akademika UB, diisi oleh pembicara dari akademisi seperti Unti Ludigdo, Muchamad Ali Safaat, Dominicus S. Priyarsono dan Hengki Andora, yang memberikan pandangan strategis terkait indikator keberhasilan pemberantasan korupsi. Rektor Universitas Brawijaya, Widodo dalam sambutannya menekankan, pentingnya pengawasan terhadap sektor swasta dalam upaya pemberantasan korupsi.
“Sektor swasta di Indonesia sangat besar dan memerlukan pengawasan yang intensif. Kasus-kasus korupsi di sektor swasta yang terungkap akhir-akhir ini menunjukkan bahwa pengawasan tidak hanya penting bagi pemerintah, tetapi juga sektor non-pemerintah,” ungkap Widodo.
Selain itu, Widodo juga menyoroti perlunya reformasi budaya politik dan demokrasi dalam pemberantasan korupsi. “Budaya korupsi sudah menyusup dalam praktik demokrasi kita, terutama dalam pemilu dan pilkada. Transformasi budaya menjadi kunci penting untuk mengatasi korupsi yang multidimensi dan multifaktor ini. Kampus harus menjadi pusat pembentukan budaya integritas untuk menciptakan generasi yang lebih berintegritas,” tambahnya.
Selain diskusi, kegiatan tersebut juga ditandai dengan penandatanganan Nota Kesepahaman antara KPK dan Universitas Brawijaya terkait kerja sama dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi. Nota Kesepahaman ini bertujuan untuk memperkuat koordinasi dan kolaborasi antara kedua pihak dalam mencegah korupsi secara efektif dan efisien sesuai dengan tugas, fungsi, kewenangan dan kapasitas masing-masing. Widodo pun menyampaikan bahwa kerja sama ini adalah langkah penting dalam membangun budaya integritas di lingkungan kampus.
“Transformasi budaya integritas di perguruan tinggi adalah fondasi utama untuk menciptakan generasi muda yang berintegritas. Kampus harus menjadi tempat yang bebas dari praktik koruptif sekaligus melahirkan agen perubahan untuk masyarakat luas,” ungkapnya.
Sejalan dengan hal tersebut, Cahya menyebut bahwa Nota Kesepahaman ini merupakan komitmen bersama KPK dan perguruan tinggi untuk memperkuat upaya pencegahan korupsi. “KPK dan Universitas Brawijaya memiliki peran strategis untuk mendorong perubahan, mulai dari sistem tata kelola hingga pendidikan antikorupsi. Kerja sama ini diharapkan dapat memberikan dampak yang signifikan, baik di lingkungan kampus maupun masyarakat luas,” pungkasnya.