Cegah Korupsi dari Hulu, KPK Dorong Kota Depok Perkuat Tata Kelola Anggaran dan Pengadaan

Korupsi seringkali bermula dari proses yang tampak teknis tapi krusial: perencanaan dan pengadaan. Inilah yang menjadi perhatian utama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat menggelar rapat koordinasi tematik bersama Pemerintah Kota (Pemkot) dan DPRD Kota Depok, Jawa Barat, pada Selasa (29/4).
Melalui Kedeputian Koordinasi dan Supervisi, KPK mendorong agar pengawasan terhadap anggaran dan pengadaan barang/jasa dilakukan sejak awal secara transparan dan akuntabel. Tak hanya eksekutif, KPK juga mengajak legislatif di daerah untuk aktif menjadi penggerak perubahan.
Kepala Satuan Tugas Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah II KPK, Arief Nurcahyo, menegaskan bahwa celah korupsi kerap muncul akibat lemahnya sistem di hulu. “Praktik korupsi dalam pengadaan barang dan jasa (PBJ) kerap terjadi akibat lemahnya perencanaan program dan anggaran, minimnya data acuan dalam penyusunan standar harga, serta adanya pola kecurangan sistematis sejak tahap perencanaan hingga pelaporan,” jelasnya saat membuka acara di Ruang Sidang Paripurna, DPRD Kota Depok.
Ia menambahkan bahwa kelemahan tersebut bukan hanya berisiko secara hukum, tetapi juga menghambat jalannya program prioritas pemerintah dan membuka peluang pemborosan anggaran. “Setidaknya, KPK mencatat sejumlah pola kecurangan yang kerap terjadi, seperti tahap pengadaan yang singkat dan tak transparan, distribusi dokumen tender yang bermasalah, pembatasan informasi oleh panitia, manipulasi proses penjelasan proyek, dan penghalangan pengajuan dokumen penawaran. Hal tersebut menyebabkan potensi markup anggaran, hingga pengadaan yang diarahkan ke penyedia tertentu,” imbuhnya.
Dorongan Penguatan Perencanaan untuk 2026
Arief mengingatkan bahwa proses penganggaran dan pengadaan seharusnya selalu merujuk pada Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Ia mengajak agar Pemkot Depok memperkuat tata cara perencanaan, pengendalian, dan evaluasi pembangunan, termasuk sinkronisasi dengan rencana pembangunan jangka panjang daerah.
Di sisi lain, DPRD juga memiliki peran penting dalam mendukung perencanaan yang berkualitas. “Bersama pemerintah daerah, DPRD Kota Depok dapat merumuskan pelbagai kebijakan yang cerdas, seperti mengalokasikan anggaran secara bijaksana, dan menjalin kemitraan yang efektif. Sebagai legislatif, DPRD dapat menjadi agen perubahan yang membawa Kota Depok menuju perekonomian yang berdaya saing dan berkelanjutan,” ujar Arief.
Skor IPKD Jadi Cermin Tantangan
Kota Depok saat ini mencatat rerata Indeks Pencegahan Korupsi Daerah (IPKD) sebesar 83,36% berdasarkan sistem Monitoring Controlling Surveillance for Prevention (MCSP) 2024. Di balik angka tersebut, masih terdapat sejumlah tantangan serius Kota Depok di lima aspek: perencanaan, penganggaran, pelayanan publik, pengadaan barang dan jasa, serta pengelolaan barang milik daerah (BMD).
Dari sisi pengadaan, rerata indeks hanya mencapai 68%. Karenanya, Person in Charge (PIC) Direktorat Koordinasi dan Supervisi Wilayah II KPK, Irawati, menggarisbawahi pentingnya perbaikan dalam area ini, termasuk penguatan peran aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) di lingkungan Pemkot Depok.
“Lemahnya pengendalian pengadaan barang dan jasa bisa memunculkan perencanaan yang tidak realistis,” papar Irawati.
Masalah lain juga muncul dalam proses perencanaan, khususnya pada penyusunan Pokok Pikiran (Pokir) DPRD yang hanya meraih skor 68%. Menurut Irawati, kurangnya koordinasi antara eksekutif dan legislatif, lemahnya kajian atas aspirasi masyarakat, serta buruknya integrasi pokir dalam dokumen perencanaan, menjadi penyebab utama.
“KPK menyoroti masih lemahnya integrasi pokok-pokok pikiran hasil kajian dan kesepakatan bersama ke dalam dokumen perencanaan seperti RKPD dan RPJMD. Kondisi ini menyebabkan pokok-pokok pikiran tersebut kerap menjadi daftar usulan semata yang tidak terealisasi dalam program pembangunan daerah,” jelas Irawati.
Tata Kelola Aset Daerah Masih Lemah
Satu perhatian penting lainnya adalah soal pengelolaan BMD. Indeks pengelolaan aset daerah di Depok masih rendah, yakni hanya 57%. Masalah utamanya berkisar pada belum optimalnya pencatatan dan sertifikasi aset, yang dapat memunculkan risiko aset dikuasai oleh pihak yang tidak berhak.
Kondisi ini dinilai merugikan keuangan daerah karena memicu inefisiensi belanja daerah. Oleh karena itu, KPK berharap Pemkot Depok dapat mulai memanfaatkan aset dengan pendekatan yang lebih strategis.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Daerah Kota Depok, Nina Suzana, menyatakan kesiapan pihaknya untuk berbenah. Ia menegaskan komitmen Pemkot Depok dalam memperkuat tata kelola yang bersih dan akuntabel. “Prinsipnya, upaya mencegah korupsi bagaimana perencanaan, penganggaran, pemanfaatan APBD, pelaksanaannya itu benar-benar bisa maksimal dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Tak lupa, mengenai pengelolaan aset daerah harus menjadi perhatian lebih, sebab pengelolaan aset daerah yang efisien sangat penting untuk meningkatkan pendapatan daerah,” tegas Nina.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kota Depok, Yeti Wulandari, juga menyampaikan apresiasi atas peran aktif KPK dalam membina pemerintah daerah. Ia melihat kehadiran lembaga antirasuah ini sebagai energi positif untuk mewujudkan tata kelola yang lebih baik.
“Pentingnya sinergi DPRD dan Pemkot Depok di tengah efisiensi anggaran, diharapkan dapat mendorong kemajuan pendidikan dan ekonomi secara berimbang, sebagai bagian dari kontribusi menuju visi Indonesia Emas 2045,” pungkas Yeti.
Kilas Lainnya
