Temuan Hasil SPI Pendidikan 2024: Gratifikasi Masih Membayangi Ruang Kelas

Pemberian parsel hari raya, bingkisan, oleh-oleh, atau hadiah kepada tenaga pendidik mungkin bagi sebagian orang sering kali dianggap wajar—sebagai bentuk “terima kasih”. Namun, apa yang tampak lumrah itu, sejatinya adalah alarm penanda retaknya tembok integritas di dunia pendidikan. Pasalnya, aparatur sipil negara (ASN) dilarang menerima hadiah yang berhubungan dengan jabatan dan/atau pekerjaannya sesuai dengan Pasal 5 huruf K PP Nomor 94 tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
Inilah potret yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui Indeks Integritas Pendidikan 2024 yang merupakan hasil dari program Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan. Survei ini bukan sekadar deretan angka, tapi cermin yang memperlihatkan wajah kegaliban gratifikasi dan konflik kepentingan masih membayang-bayangi ruang kelas, baik pada pendidikan dasar, menengah, hingga perguruan tinggi.
“Masih ada 30% guru atau dosen, serta 18% pimpinan satuan pendidikan, yang menganggap gratifikasi dari siswa atau wali murid sebagai hal yang lumrah. Ini berbahaya, karena bisa menjadi celah awal praktik korupsi kecil yang dinormalisasi dari generasi ke generasi," ujar Deputi Bidang Peran Serta Masyarakat KPK, Wawan Wardiana, dalam acara Peluncuran Indeks Integritas Pendidikan 2024 dan Penandatanganan Komitmen Bersama Penyelenggaraan Pendidikan Antikorupsi, yang digelar secara hybrid di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Kamis (24/4).
Peningkatan Kualitas Pendidikan
Faktanya, temuan SPI 2024 menunjukkan sebanyak 65% satuan pendidikan (sekolah dasar menengah, perguruan tinggi, hingga sekolah Indonesia di luar negeri) yang disurvei, menyebut bahwa orang tua masih sering memberi bingkisan atau hadiah kepada tenaga pengajar, terutama saat hari raya atau kenaikan kelas. Bahkan lebih serius lagi, di 22% satuan pendidikan, praktik ini dilakukan agar nilai siswa dinaikkan atau agar bisa lulus.
Pendidikan, yang seharusnya menjadi fondasi nilai dan integritas, justru bisa menjadi ladang awal pembiasaan perilaku menyimpang jika dibiarkan. Untuk itu, KPK mengajak seluruh pemangku kepentingan pendidikan untuk tidak menormalisasi pemberian dalam bentuk apapun yang berpotensi memengaruhi objektivitas.
Dalam hal ini, KPK mendorong masyarakat dan tenaga pendidik untuk memahami bahwa apresiasi tak harus berbentuk materi. Ucapan terima kasih tulus, testimoni positif, atau kontribusi dalam peningkatan kualitas pendidikan justru lebih bermakna dan bebas dari risiko pelanggaran etika.
Di sisi lain, Wawan juga meminta agar sekolah dan kampus dapat membangun sistem pengadaan yang transparan, berbasis data, dan bebas konflik kepentingan. Melibatkan komite sekolah, akuntabilitas vendor, hingga membuka akses pengawasan publik. “Kalau dari dunia pendidikan saja kita kompromi soal integritas, bagaimana dengan sektor lainnya?” tegas Wawan.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti menyampaikan bahwa pendidikan merupakan suatu transformasi, proses pembiasaan dan pembudayaan, agar nilai-nilai utama dapat terintegrasi ke dalam setiap peserta didik melalui empat catur pusat pendidikan, yaitu sekolah, rumah, masyarakat, dan media.
“Untuk itu, Kemendikdasmen berusaha memperbaiki proses pendidikan kita supaya tidak sekadar menjadi transfer of knowledge yang hanya menekankan pada aspek knowing, melainkan juga deep learning, supaya peserta didik menemukan meaning (makna dari apa yang dipelajari) dan berlanjut kepada behaving (mengamalkan apa yang mereka pelajari),” jelasnya.
Indeks Integritas Pendidikan SPI 2024
Pada 24 April 2025, KPK secara resmi mengumumkan hasil Indeks Integritas Pendidikan 2024, yang diperoleh melalui Survei Penilaian Integritas (SPI) Pendidikan 2024. Hasilnya, nilai indeks mencapai 69,50 poin dan dikategorikan dalam level “Korektif”. Ini menunjukkan bahwa telah ada inisiatif untuk memperbaiki integritas melalui penanaman nilai-nilai integritas, meskipun penerapan dan pengawasannya masih belum merata.
Indeks ini dibangun berdasarkan tiga dimensi utama, yakni karakter peserta didik (78,01), lingkungan atau ekosistem pendidikan (71,35), dan tata kelola pendidikan (58,68). Survei mencakup 36.888 satuan pendidikan yang tersebar di 507 kabupaten/kota dari 38 provinsi di seluruh Indonesia. Sebanyak 449.865 responden turut berpartisipasi dalam survei ini, terdiri atas siswa/mahasiswa, orang tua, tenaga pendidik, serta kepala satuan pendidikan.
Survei dilaksanakan pada 22 Agustus hingga 30 September 2024 melalui dua pendekatan, yaitu metode daring dengan WhatsApp, email blast, dan Computer Assisted Web Interviewing (CAWI), serta metode hybrid menggunakan Computer-Assisted Personal Interviewing (CAPI). Hasilnya diharapkan mampu memberikan gambaran menyeluruh terkait kondisi integritas di sektor pendidikan, sehingga perbaikan yang dilakukan dapat lebih tepat sasaran.