Suap dan Pengadaan Dominan, KPK Soroti Risiko Korupsi di Sektor Keagamaan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menegaskan korupsi di sektor keagamaan berdampak lebih luas karena tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merusak moral dan kepercayaan publik. Pesan ini disampaikan KPK dalam Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Kementerian Agama (Kemenag) bertema “Mempersiapkan Umat Masa Depan” di Hotel Atria Serpong, Banten, Selasa (16/12).
Wakil Ketua KPK, Ibnu Basuki Widodo, menyebut pencegahan korupsi di sektor keagamaan bukan sekadar kewajiban moral, melainkan langkah sistematis membangun tata kelola yang bersih dan berintegritas.
“Di sektor keagamaan, dampak korupsi jauh lebih besar karena menyangkut moralitas umat,” tutur Ibnu di hadapan ribuan peserta daring dan luring.
Data penindakan KPK menunjukkan kerentanan tersebut tercermin dari pola perkara korupsi. Dari 1.750 perkara yang ditangani sejak 2004 hingga triwulan III 2025, sebanyak 61,6 persen merupakan kasus suap dan gratifikasi. Sementara itu, pengadaan barang dan jasa (PBJ) tercatat sebanyak 445 perkara atau 25,4 persen.
Ibnu menilai pengadaan barang dan jasa masih menjadi titik rawan karena lemahnya pengelolaan anggaran dan proses procurement di instansi pemerintah, termasuk sektor keagamaan. “Pengadaan barang dan jasa adalah area paling rentan. Ini harus dikoreksi dari atas sampai bawah,” tambahnya.
Selain itu, KPK juga menyoroti praktik gratifikasi yang kerap dibungkus sebagai budaya atau tanda terima kasih. Normalisasi tersebut dinilai berbahaya karena dapat menumpulkan kepekaan etika.
“Hindari berbagai pemberian. Jangan sampai tergelincir karena tekanan atau pembenaran yang keliru,” tegas Ibnu.
Dalam paparannya, Ibnu menjelaskan teori fraud pentagon sebagai akar pemicu korupsi, yang meliputi tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), kemampuan (capability), keserakahan (arrogance), dan pembenaran (rationalization). Tekanan keluarga serta pembenaran seperti dalih budaya, gaji kecil, atau ucapan terima kasih kerap menjadi pemicu yang tidak disadari.
“Budaya memberi hadiah tidak boleh menjadi alasan melanggar hukum. Integritas harus menjadi pegangan utama,” ucap Ibnu.
Sebagai langkah konkret, KPK mendorong penerapan Strategi Trisula Pencegahan Korupsi di lingkungan Kemenag. Sula pendidikan difokuskan pada pembentukan integritas sejak dini melalui jejaring pendidikan formal dan informal, mulai dari RA, MI, MTs, MA, hingga perguruan tinggi.
Saat ini, Pendidikan Antikorupsi telah diimplementasikan di lebih dari 1.000 madrasah dan 691 perguruan tinggi agama Islam. Sula pencegahan diarahkan pada perbaikan sistem melalui penguatan regulasi, transparansi, dan akuntabilitas pengelolaan anggaran serta pengadaan. Sementara itu, sula penindakan menjadi penopang terakhir penegakan hukum guna memastikan efek jera.
Sinergi KPK dan Kemenag tersebut diperkuat melalui Nota Kesepahaman Pencegahan Korupsi melalui Pendidikan periode 2023–2028. Implementasinya mencakup e-Learning Gratifikasi bagi 3.000 ASN Kemenag, Safari Keagamaan Antikorupsi di delapan kantor wilayah, serta penghargaan bagi penyuluh antikorupsi di lingkungan madrasah.
Menutup paparannya, Ibnu menegaskan integritas sebagai fondasi masa depan umat. “Masa depan umat tidak terwujud tanpa integritas. Korupsi bukan sekadar pelanggaran hukum, tapi dosa sosial perusak martabat manusia,” pungkasnya.