KPK: Korupsi Bukan Tradisi, Pencegahan dan Penegakan Hukum Harus Jadi Solusi
Korupsi bukan budaya, apalagi warisan. Di tengah defisit anggaran pendapatan belanja negara (APBN) yang terus berulang, Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, menegaskan bahwa perilaku lancung yang seolah telah mengakar tidak boleh dibiarkan menjadi tradisi. Menurutnya, pencegahan korupsi yang sistematis dan penegakan hukum yang bertanggung jawab harus menjadi dua sisi mata uang dalam solusi berkelanjutan.
Hal tersebut disampaikan Setyo di hadapan jajaran Direktur Reserse se-Indonesia dalam Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Fungsi Reskrim Polri TA 2025 yang digelar hybrid, di Aula Bareskrim Polri, Jakarta Selatan, pada Rabu (16/4).
“Reformasi dan transformasi tak akan hidup tanpa bahan bakar penegakan hukum yang bertanggung jawab, Reserse adalah ujung tombak. Kalian punya insting dan naluri yang tak dimiliki fungsi lain. Gunakan itu untuk memperkuat kepercayaan publik dan melindungi anggaran rakyat,” ujar Setyo.
Ia menyoroti lonjakan defisit APBN yang mencapai Rp309,2 triliun per Oktober 2024, atau setara 1,37% dari PDB akibat adanya kebocoran. Angka ini melonjak lebih dari dua kali lipat dibandingkan posisi Agustus 2024 yang hanya Rp153,7 triliun. Kebocoran ini, lanjut Setyo, tidak melulu soal ketidakmampuan fiskal, tapi juga soal tata kelola anggaran yang rentan dimanipulasi. Modusnya meliputi proyek fiktif, mark-up biaya, manipulasi spesifikasi, hingga pengadaan yang tidak sesuai kebutuhan.
“Biasanya modus ini dilakukan dengan persekongkolan, bukan hanya dilakukan oleh pelaksana teknis, tapi juga arahan pimpinan. Ini bukan hal baru—yang jadi bahaya adalah jika kebocoran ini berubah jadi budaya, bahkan dianggap kearifan lokal,” ujarnya.
Sinergi KPK-Polri dalam Pemberantasan Korupsi
Setyo menegaskan, Rakernis Fungsi Reskrim Polri TA 2025 ini menjadi momen konsolidasi strategis antara KPK dan Polri untuk bersinergi dalam pemberantasan korupsi. Pasalnya, kebocoran anggaran yang disinyalir telah berjalan lebih dari 30 tahun ini menjadi sebuah alarm pengingat bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Dibutuhkan kolaborasi yang kuat antara aparat penegak hukum (APH), bukan hanya untuk menindak pelaku, tetapi membangun sistem yang lebih bersih demi menutup titik rawan korupsi.
“Kita harus bersinergi dalam membangun sistem yang benar-benar transparan dan akuntabel dengan penegakan hukum penuh tanggung jawab. Karena sebaik apapun sistemnya, tetap ada risiko jika tidak ada keseriusan dalam penegakan hukum,” Tegas Setyo.
Menurutnya, strategi nyata pencegahan korupsi yang bisa dilakukan meliputi dua hal, yakni melakukan pengawasan ketat serta penegakan hukum. Pengawasan ketat dilakukan melalui digitalisasi, transparansi, penguatan peran Survei Penilaian Integritas (SPI), pendidikan antikorupsi, akuntabilitas, dan optimalisasi Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) dan whistleblowing system (WBS).
Sementara dari sisi penegakan hukum harus dilakukan penindakan secara efektif dan efisien, dengan pendekatan keadilan untuk memberikan efek jera dan manfaat pasti bagi masyarakat.
Optimalisasi Asset Recovery
Di sisi lain, demi menutup kebocoran anggaran, Setyo turut mendorong optimalisasi pemulihan kerugian keuangan negara melalui mekanisme asset recovery, baik melalui uang pengganti, barang rampasan, hingga hibah dan pemanfaatan aset sitaan. Di tahun 2024 sendiri, KPK telah melakukan asset recovery sebesar Rp739,6 miliar.
"Silakan menangani perkara, tapi harapannya ada asset recovery. Ada pengembalian yang bisa dilakukan agar mengurangi defisit negara. Karena kalau tidak kita lakukan itu, habis," jelas Setyo.
Lebih lanjut, KPK mengajak seluruh elemen penegak hukum untuk bergerak bersama dalam pemberantasan korupsi demi memberikan kebermanfaatan dan kesejahteraan bagi masyarakat dan negara.