KPK Dorong Sistem Antikorupsi di BUMN, Fokus pada Gratifikasi dan Whistleblowing

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga independen memiliki peran penting dalam membangun integritas di berbagai sektor, termasuk dunia usaha. Untuk itu, KPK terus mendorong upaya pencegahan korupsi dan penguatan sistem antikorupsi di lingkungan badan usaha milik negara (BUMN).
Hal ini disampaikan Kepala Satuan Tugas 4 pada Direktorat Antikorupsi Badan Usaha (AKBU) KPK, Ipi Maryati Kuding, dalam acara sosialisasi bertajuk “Whistleblowing System dan Pencegahan Fraud BUMN dan Pengendalian Gratifikasi oleh KPK” yang digelar secara daring di PT Kawasan Industri Terpadu Batang (KITB), Selasa (20/5), bertepatan dengan peringatan Hari Kebangkitan Nasional.
“KPK mendorong sektor usaha untuk berperan aktif mencegah korupsi, yang salah satunya dapat dilakukan melalui edukasi terkait internalisasi integritas dan nilai-nilai antikorupsi, khususnya bagi setiap individu pelaku usaha. KPK juga mendorong terciptanya lingkungan usaha antikorupsi yang kondusif,” tutur Ipi.
Direktur Utama PT KITB, Ngurah Wirawan, menyambut baik dukungan KPK dalam menumbuhkan semangat dan kesadaran integritas di sektor usaha. Ia menyoroti masih adanya ketidaksesuaian antara praktik di lapangan dengan regulasi, norma, atau etika yang berlaku, khususnya terkait korupsi dan gratifikasi.
“Sebagai pemimpin perusahaan, saya harus bisa menjadi role model bagi seluruh karyawan saya. Tidak hanya itu, tapi juga menjadi contoh bagi para mitra yang terdiri dari kontraktor, konsultan, vendor, hingga investor. Semangat antikorupsi ini perlu terus dibawa untuk manajemen perusahaan ke depannya sebagai nilai-nilai perusahaan,” ungkap Ngurah.
Titik Rawan di Kawasan Ekonomi
Dalam pemaparannya, Ipi menyampaikan bahwa terdapat sejumlah titik rawan korupsi pada PT KITB, yang kini telah bertransformasi dari kawasan industri terpadu menjadi kawasan ekonomi khusus (KEK) dan fokus pada sektor manufaktur.
“Memang ada beberapa titik rawan korupsi dan gratifikasi di kawasan ekonomi. Misalnya, penetapan lokasi KEK, penunjukan Badan Usaha Pembangunan dan Pengelola (BUPP) KEK, pemberian insentif pajak dan nonpajak, perizinan berusaha dan operasional, pengadaan infrastruktur, pemanfaatan lahan, perpanjangan dan pengawasan dan evaluasi kinerja KEK, penanaman modal asing, serta hubungan pemerintah dan swasta,” ucap Ipi.
Ia juga menjelaskan bahwa berbagai modus korupsi di kawasan tersebut kerap melibatkan suap dan gratifikasi dalam bentuk uang atau fasilitas untuk melancarkan proses tertentu. Benturan kepentingan juga kerap terjadi, misalnya dalam manipulasi dokumen studi kelayakan agar lokasi tertentu terlihat layak.
“Demikian juga dalam penunjukan BUPP KEK tanpa proses yang terbuka serta tidak transparan, rawan memicu nepotisme dan konflik kepentingan. Selain itu, proses pengadaan infrastruktur yang tidak sesuai proses, adanya tender fiktif, perubahan peruntukan lahan tanpa prosedur yang sah, hingga investasi fiktif perusahaan asing,” kata Ipi.
Pengendalian Gratifikasi Jadi Instrumen Strategis
Mengacu pada UU No. 1 Tahun 2025 tentang BUMN Pasal 62A dan Peraturan Menteri BUMN Nomor PER-2/MBU/03/2023, pengelolaan aset harus dilandaskan pada prinsip tata kelola perusahaan yang baik—meliputi transparansi, akuntabilitas, kemanfaatan, kemandirian, pertanggungjawaban, dan kewajaran.
Ipi menyebut sejumlah instrumen penting untuk mendeteksi penyimpangan di sektor usaha, antara lain Laporan Hasil Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), Program Pengendalian Gratifikasi (PPG) bersama KPK, konsultasi dengan Ahli Pembangun Integritas (API), penggunaan teknologi geospasial, e-procurement, e-contracting, big data analytics, whistleblowing system, dan kode etik perusahaan.
Salah satu instrumen yang dianggap krusial adalah PPG, terutama mengingat masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang gratifikasi, minimnya pelaporan, serta kurangnya sosok pemimpin yang menjadi teladan.
“Sebagian orang masih menganggap gratifikasi itu sebagai rezeki. Gratifikasi harus dilaporkan selambat-lambatnya 30 hari ke KPK jika memang berhubungan dengan jabatan, tugas, atau kewajiban. Karenanya, KPK juga mendorong kementerian/lembaga, BUMN, BUMD, serta instansi lainnya agar memiliki PPG karena ini sangat penting,” tambah Ipi.
WBS untuk Perlindungan Pelapor
Berdasarkan hasil Survei Penilaian Integritas (SPI) 2024, tercatat 4,95 persen responden pernah mendengar adanya pemberian berupa uang, barang, atau fasilitas kepada pegawai dari pengguna layanan dalam 12 bulan terakhir. Namun, sebanyak 29,94 persen responden mengaku khawatir bahwa pelapor korupsi akan menghadapi respons negatif, seperti dikucilkan, diberi sanksi, dimutasi, atau terhambat kariernya.
“Dalam melaporkan praktik-praktik kecurangan, tidak jarang perlakuan terhadap pelapor justru tidak mencerminkan perlakuan yang adil. Tapi, justru ada risiko atau respons negatif terhadap para pelapor,” kata Ipi.
Untuk mengatasi hal ini, KPK terus mendorong penguatan Whistleblowing System (WBS) yang andal, agar masyarakat dan pegawai dapat melapor tanpa takut akan konsekuensi negatif. Pembangunan WBS ini bertumpu pada lima pilar utama: komitmen pimpinan tertinggi, kebijakan yang mendukung, budaya organisasi yang sehat, sistem aplikasi WBS yang terintegrasi, serta pengembangan sistem secara berkelanjutan.