KPK Tingkatkan Kapasitas Pemahaman Pemberantasan Korupsi dan TPPU Lewat Modus Financial Technology
Pencucian uang menjadi salah satu modus operandi pelaku tindak pidana korupsi agar asetnya sulit ditemukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Bahkan, kejahatan keuangan itu kian berkembang hingga menyentuh sektor financial technology (fintech).
Hal itu diungkap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata saat pembukaan Workshop Pemanfaatan Financial Technology dalam Pemberantasan Korupsi dan TPPU: Peluang, Tantangan, dan Masa Depan Keuangan Transparan di Auditorium Randy Yusuf Gedung ACLC KPK Jakarta, Kamis (21/11).
“Dengan posisi Indonesia sebagai anggota Financial Action Task Force (FATF) KPK berkomitmen untuk menggali potensi dan peningkatan kapasitas pemahaman modus kejahatan keuangan lewat fintech dalam rangka mengusut aset hasil tindak pidana korupsi,” ungkap Alex.
Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan ada 578 juta rekening bank dan 144 juta e-wallet (dompet digital) serta lebih dari ribuan transaksi aset kripto tersebar di seluruh Indonesia. Catatan itu, lanjut Alex menjadi tantangan bagi APH agar lebih jeli melihat jika terdapat kejanggalan dalam transaksi tersebut.
“Dengan financial technology akan sangat membantu pemberantasan korupsi, namun juga kompleksitasnya sangat besar. Kita dapat mencermati itikad baik dari para pemilik rekening tersebut dan lebih jeli lagi melihat kejanggalan dari setiap pola transaksi pemindahan uang secara digital,” tambah Alex.
Tantangan Pemberantasan Money Laundering di Era Digital
Deputi Bidang Informasi dan Data KPK, Eko Mardjono menjelaskan jika modus pelaku tindak pidana korupsi dengan mengalirkan dananya lewat transaksi digital secara lintas negara sudah semakin berkembang. Untuk itu, Eko menegaskan peningkatan kapasitas ini jadi langkah strategis bagi KPK bersamaan dengan posisi Indonesia sebagai anggota FATF.
“Sebagai anggota FATF, maka Indonesia harus mematuhi standar dalam rangka memperkuat sistem keuangan di Indonesia, sehingga hal tersebut dapat meningkatkan kepercayaan investor dalam rangka pertumbuhan ekonomi di Indonesia,” tandas Eko.
Pada kesempatan sama, Deputi Bidang Analisis dan Pemeriksaan PPATK Danang Tri Hartono mengungkap ada hal yang perlu dicermati dari kemajuan teknologi finansial. Pemindahan dana yang cepat dari pasar modal dan mata uang kripto menjadi tantangan bagi penyidik mengusut aliran uang.
Di sisi lain, hasil penilaian risiko sektoral PPATK tahun 2023 yang berdasarkan persepsi Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan (LTKM), tindak pidana korupsi dan penipuan menjadi dua jenis pidana berisiko tinggi terjadinya pencucian uang.
“Pengusutan untuk perampasan aset menjadi tantangan besar terutama ketika aset sudah berubah dalam bentuk digital dan sudah lintas negara. Transaksi makin cepat dan aliran (dana) makin panjang untuk diungkap,” terang Danang.
Sementara itu, lokakarya terbagi dalam 4 sesi meliputi; Hasil Sectoral Risk Assessment (SRA) Financial Technology dan Potensi Terhadap Tindak Pidana asal Korupsi; Tantangan Financial Technology dalam Upaya Pemberantasan Tipikor dan TPPU; Tantangan Regulasi Financial Technology dalam Upaya Pemberantasan TPK dan TPPU; serta Peluang dan Tantangan UU Nomor 4 Tahun 2023 dalam Penanganan Kasus Tipikor dan TPPU.
Kegiatan turut dihadiri Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi (PJKAKI) KPK Kartika Handaruningrum dan sejumlah perwakilan dari Kedeputian Bidang Penindakan KPK. Sementara sebagai narasumber yakni; Kepala Tim SRA PPATK Vidyata Annisa; Managing Director KROLL Deni Ratno; Departemen Hukum Bank Indonesia Melati Pramudyastuti; dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso.