KPK Dorong Sinkronisasi RUU HAP demi Lindungi Efektivitas Pemberantasan Korupsi

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, menegaskan bahwa pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (RUU HAP) perlu dilakukan secara cermat, terbuka, dan partisipatif agar tidak justru melemahkan upaya pemberantasan korupsi yang selama ini dijalankan KPK berdasarkan prinsip lex specialis.
“Kami melihatnya ada potensi-potensi yang kemudian bisa berpengaruh terhadap kewenangan, mengurangi kewenangan tugas dan fungsi daripada Komisi Pemberantasan Korupsi,” ujar Setyo dalam keterangannya di Gedung Merah Putih KPK, Kamis (17/7).
Menurutnya, beberapa ketentuan dalam draf RUU HAP berpotensi mengurangi efektivitas kerja KPK, khususnya dalam fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan perkara tindak pidana korupsi. Oleh sebab itu, KPK telah melakukan diskusi kelompok terpumpun (FGD) bersama para ahli hukum untuk mengkaji dan membandingkan ketentuan RUU HAP dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 yang mengatur kewenangan KPK secara khusus.
“KPK dibentuk berdasarkan undang-undang yang secara khusus mengatur tugas di bidang pencegahan, pendidikan, dan penindakan. Nah, dengan tugas-tugas ini, diharapkan justru ada penguatan dengan adanya RUU HAP ini. Karena lebih kuat, tentu upaya pemberantasan korupsi akan semakin baik dan maksimal,” lanjutnya.
17 Isu Krusial dan Dampaknya terhadap Lex Specialis
Dalam forum diskusi bertajuk Implikasi RUU Hukum Acara Pidana, yang digelar KPK pada Kamis (10/7), KPK bersama para pakar hukum mengidentifikasi 17 isu krusial dalam RUU HAP yang dinilai tidak sinkron dengan UU KPK. Beberapa isu yang menonjol di antaranya terkait pembatasan penyadapan, penghapusan kewenangan KPK dalam mengangkat penyelidik secara mandiri, serta pembatasan pencegahan ke luar negeri (cekal) hanya kepada tersangka.
“Kami berharap khususnya kepada Panja, kemudian kepada pemerintah, agar batang tubuh dengan ketentuan peralihan dalam RUU ini disusun secara sinkron. Kalau tidak sinkron, nanti bisa menimbulkan bias dan ketidakpastian hukum,” tegas Setyo.
Adapun ke-17 isu yang diidentifikasi KPK meliputi:
- Keberlakuan UU KPK yang mengatur kewenangan penyelidik dan penyidik serta hukum acara yang bersifat khusus berpotensi dimaknai bertentangan dengan RUU HAP dengan adanya Pasal 329 dan Pasal 330 RUU HAP.
- Keberlanjutan penanganan perkara KPK hanya dapat diselesaikan berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
- Keberadaan penyelidik KPK tidak diakomodir dalam RUU HAP, penyelidik hanya berasal dari Polri dan penyelidik diawasi oleh Penyidik Polri.
- Penyelidikan hanya mencari dan menemukan peristiwa tindak pidana sedangkan penyelidikan KPK sudah menemukan sekurang-kurangnya dua alat bukti.
- Keterangan saksi yang diakui sebagai alat bukti hanya yang diperoleh di tahap penyidikan, penuntutan, dan/atau pemeriksaan di sidang pengadilan.
- Penetapan tersangka ditentukan setelah Penyidik mengumpulkan dan memperoleh dua alat bukti.
- Penghentian penyidikan wajib melibatkan Penyidik Polri.
- Penyerahan berkas perkara ke penuntut umum melalui Penyidik Polri.
- Penggeledahan terhadap tersangka dan didampingi Penyidik dari daerah hukum tempat penggeledahan tersebut.
- Penyitaan dengan permohonan izin Ketua Pengadilan Negeri.
- Penyadapan termasuk upaya paksa, hanya dilakukan pada tahap penyidikan dengan izin Ketua Pengadilan Negeri, serta tidak ada definisi penyadapan yang sah (lawful interception).
- Larangan bepergian ke luar wilayah indonesia termasuk upaya paksa dan hanya terhadap tersangka.
- Pokok perkara tindak pidana korupsi tidak dapat disidangkan selama proses praperadilan.
- Kewenangan KPK dalam perkara koneksitas tidak diakomodir.
- Perlindungan saksi hanya dilakukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
- Penuntutan di luar daerah hukum dengan pengangkatan sementara Jaksa Agung.
- Penuntut umum hanya dari kejaksaan atau lembaga sesuai UU.
KPK Dorong Harmonisasi
KPK menyatakan mendukung pembaruan hukum acara pidana, namun mengingatkan bahwa pembaruan ini tidak boleh mengorbankan efektivitas pemberantasan korupsi. Untuk itu, KPK mendorong penambahan klausul pengecualian dalam Pasal 329 RUU HAP dan memasukkan blanket clause dalam ketentuan penutup agar keberlakuan UU sektoral, termasuk UU KPK, tetap terjamin.
“Kita berharap bahwa proses RUU HAP ini disusun secara terbuka dan partisipatif. Artinya, transparan, melibatkan semua pihak, dan memiliki semangat untuk membangun proses hukum yang berkeadilan bagi seluruh masyarakat,” pungkas Setyo.
KPK juga terus menjalin komunikasi dengan pemerintah dan kementerian terkait untuk memastikan bahwa RUU HAP tidak menyamakan rezim hukum acara pidana umum dengan hukum acara khusus, yang selama ini menjadi dasar dalam penanganan tipikor, terorisme, dan kejahatan serius lainnya.
Lebih detail tentang 17 isu krusial dalam RUU HAP terkait Pemberantasan Korupsi