It takes two to tango”. Idiom yang dipopulerkan sejak tahun 1950-an ini seringkali digunakan untuk menggambarkan bahwa sebuah peristiwa, yang melibatkan peran lebih dari satu pihak atau pelaku untuk dapat terjadi.

Frasa di atas ternyata juga dapat mewakili fenomena yang terjadi dalam tindak pidana korupsi. Sebut saja suap misalnya. Jika ada yang menerima suap, bisa dipastikan ada pihak yang memberi. Berkaca pada data tahun 2017 saja, tercatat 93 kasus penyuapan yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari sisi pelaku, pihak swasta tercatat sebagai pelaku tindak pidana korupsi terbanyak yaitu sejumlah 184 orang, disusul pejabat eselon I/II/III sejumlah 175 orang, anggota DPR/DPRD sejumlah 144 orang, dan kepala daerah sejumlah 88 orang.

Kasus-kasus korupsi yang ditangani KPK tentunya melibatkan penyelenggara negara. Dalam kasus suap, penyelenggara negara sebagai penerima suap tentu juga melakukannya atas dasar deal dengan penyuap yang mayoritas adalah dari pihak pelaku usaha.

Salah satu bentuk upaya yang dilakukan bersama antara KPK dan pemerintah daerah untuk mencegah maraknya praktik-praktik tersebut adalah dengan membentuk Komite Advokasi Daerah, yang baru saja dibentuk di Provinsi Kalimantan Barat. Komite advokasi ini berupaya mengajak pemerintah daerah dan pengusaha swasta duduk bersama, mencari solusi terhadap kendala-kendala pembangunan investasi dan dunia usaha berintegritas, selain seluk-beluk permasalahan sektor swasta lainnya di Kalimantan Barat. 

Dalam pertemuan dan pembentukan Komite Advokasi Daerah (KAD) Antikorupsi Kalimantan Barat, Minggu (8/3), Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengajak pemerintah daerah dan kalangan pengusaha swasta untuk mencari solusi permasalahan dunia usaha secara profesional dan akuntabel. Pertemuan ini dihadiri oleh sekitar 75 orang perwakilan pemangku kepentingan Komite Advokasi Daerah, yakni pemerintah provinsi, pengusaha dan asosiasi pengusaha di antaranya Kamar Dagang dan Industri (Kadin), Gabungan Pengusaha Konstruksi (Gapensi), Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi), serta unsur pemangku lainnya.

Dalam sambutannya, Alexander Marwata berharap Kalimantan Barat dapat menjadi pionir dalam upaya perbaikan-perbaikan yang dilakukan, diantaranya dalam sektor usaha dan reputasi investasi yang melibatkan peran swasta dan pemerintah daerah.

“Provinsi Kalimantan Barat sudah tentu memiliki andil yang besar dalam upaya ini. Kalbar merupakan provinsi yang kaya akan sumber daya alam, mulai dari perkebunan, perikanan, peternakan, hingga pertambangan dan energi. Kami mengharapkan ke depannya Kalimantan Barat dapat menjadi pionir dan teladan dalam perbaikan-perbaikan tersebut dengan kerjasama dari pelaku usaha dan regulator.”

Alexander juga menambahkan, nantinya komite advokasi ini juga akan dibentuk di daerah-daerah lainnya. Komite ini akan menyusun rencana aksi dari permasalahan yang dipilih berdasarkan kekhasan tertentu pada daerah, yang akan diinisiasi dan terbentuk di 34 provinsi pada tahun 2018 ini. “Perubahan yang dilakukan Kalimantan Barat ini, akan memberi kontribusi yang cukup signifikan bagi Indonesia, terlebih jika dapat menularkannya hingga ke daerah lain, termasuk ke seluruh Kabupatan/Kota yang berada di dalamnya.” pesan Alexander.

Pj. Gubernur Kalbar Dodi Riyadmadji menyambut baik terbentuknya komite ini. Dodi berharap melalui komite ini dapat terjalin komunikasi yang efektif antara Pemerintah Daerah selaku regulator dengan para pelaku usaha, untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan sekaligus mencegah praktik korupsi. “Bagi para pelaku usaha, saya berpesan agar dalam menjalankan usaha tetap menjunjung etika dan taat pada aturan yang berlaku. Korupsi berupa suap, gratifikasi dan pungutan liar biasanya terjadi karena ada kesepakatan beberapa pihak yang tidak memiliki integritas. Janganlah berupaya mencari kesempatan dengan memanfaatkan kedekatan atau mencari celah aturan yang dapat mendorong terjadinya perilaku koruptif.” himbau Dodi.

Pembentukan Komite Advokasi Daerah Antikorupsi yang digagas KPK ini tidak hanya dibentuk di tingkat daerah. Di tingkat nasional, komite ini bernama Komite Advokasi Nasional Antikorupsi. Sebagai permulaan, pada tahun 2018 ini ada lima sektor yang digarap di tingkat nasional yaitu minyak dan gas, pangan, infrastruktur, kesehatan, dan kehutanan. Gagasan pembentukan kedua komite ini berasal dari pengalaman KPK bahwa 80% penindakan yang ditangani KPK melibatkan para pelaku usaha. Umumnya modus yang dilakukan berupa pemberian hadiah atau gratifikasi dan tindak pidana suap dalam rangka mempengaruhi kebijakan penyelenggara negara, seperti dalam proyek pengadaan barang dan jasa serta perizinan.

Sebagai catatan, korporasi atau perusahaan swasta dapat menjadi subjek hukum sejak Mahkamah Agung mengeluarkan peraturan No. 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi. Sanksi dari aturan ini bisa berupa denda berat. Hal ini mengikuti semangat corporate crime liability yang telah lebih dahulu dilakukan oleh negara-negara maju seperti di Inggris dengan UK Bribery Act, dan Amerika Serikat dengan Foreign Corrupt Practice Act (FCPA).

*****

Sebelumnya di hari yang sama, KPK menggelar rapat koordinasi program pemberantasan korupsi terintegrasi di Pontianak, Kalimantan Barat. Rapat yang digelar bersama Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat ini dilangsungkan dalam rangka upaya pencegahan korupsi. Sejumlah sektor fokus KPK meliputi perbaikan sistem tata kelola pemerintahan dan pelayanan publik, pengelolaan pelaporan harta kekayaan pejabat publik, dan pengelolaan pelaporan gratifikasi. Secara paralel, KPK juga berupaya menggiatkan penanaman nilai-nilai antikorupsi melalui pendidikan dan kampanye, serta melakukan kajian dan studi untuk memonitor sistem administrasi negara dalam berbagai bidang.

Sejak 2016 hingga akhir 2017, Unit Koordinator dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) KPK telah melakukan upaya pencegahan korupsi di 24 provinsi di Indonesia. Tahun ini, KPK melakukan perluasan daerah ke 10 provinsi, dimana Kalimantan Barat adalah satu diantaranya. Sembilan provinsi lainnya adalah: Kepulauan Bangka Belitung, Sumatera Selatan, Lampung, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Sulawesi Barat.

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan, kegiatan ini bertujuan menyerap informasi terkait kondisi yang ada di daerah sekaligus untuk memberikan pemahaman yang sama terkait program Pencegahan dan Penindakan Korupsi Terintegrasi.  “KPK tak pernah berhenti melakukan upaya pencegahan, tentu kami butuh dukungan berupa komitmen kuat dari semua pihak, termasuk pemerintah daerah dalam menciptakan tata kelola pemerintahan yang bersih,” kata Alexander.

Komitmen seluruh pihak yang dimaksud Alexander ditujukan bagi para pemangku kepentingan di Kalimantan Barat, khususnya para regulator. Karenanya, rapat koordinasi ini melibatkan Penjabat Gubernur Kalimantan Barat, Doddy Riyadmadji, Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat, Kepala Kejaksaan Tinggi Kalimantan Barat, seluruh pemerintah Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Barat, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Provinsi, dan Kepala Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi, dan Kepala Ombudsman Provinsi Kalimantan Barat.

Secara keseluruhan, ada sembilan rekomendasi yang diberikan KPK kepada pemerintah daerah. Dalam pelayanan publik dan tata kelola pemerintahan, KPK merekomendasikan pemerintah daerah untuk: melaksanakan proses perencanaan dan penganggaran yang mengakomodir kepentingan publik bebas intervensi pihak luar melalui implementasi e-planning dan e-budgeting; melaksanakan Pengadaan Barang dan Jasa berbasis elektronik secara mandiri dan penggunaan e-procurement; melaksanakan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dan proses penerbitan perizinan pengelolaan sumber daya alam yang terbuka; dan melaksanakan tata kelola Dana Desa yang efektif dan akuntabel.

Dalam penguatan Sumber Daya Manusia dan peningkatan integritas, KPK merekomendasikan peemrintah daerah untuk melaksanakan penguatan Aparat Pengawasan Internal Pemerintah sebagai bagian dari implementasi Sistem Pengendalian Intern Pemerintah; memperkuat sistem integritas pemerintahan melalui pengendalian gratifikasi dan LHKPN; membangun sinergitas dan partisipasi seluruh komponen masyarakat terhadap penguatan tata kelola pemerintahan; melaksanakan perbaikan pengelolaan sumber daya manusia dan penerapan Tambahan Penghasilan Pegawai; dan melaksanakan perbaikan manajemen aset daerah dan optimalisasi pendapatan asli daerah dengan didukung sistem, prosedur, dan aplikasi yang transparan dan akuntabel.

Komitmen dan keteguhan hati adalah modal awal untuk mewujudkan perbaikan. Di tangan penentu kebijakan, kedua faktor ini wajib digenggam erat bersama-sama agar integritas dan akuntabilitas hadir di daerahnya. Dan kepada Kalimantan Barat harapan disematkan, agar dapat menjadi panutan daerah lainnya dalam mencegah dan memberantas korupsi secara menyeluruh.


(Humas)

Top